Bookmark and Share Terjemahan Baru al-Qur’an Bermasalah?

khabarislam.wordpress.com. Terjemah al-Qur’an yang baru mengundang kontroversi. Benarkah banyak masalah dalam proses penerjemahannya?

Kodiran Salim, seorang dai di Jakarta, sempat bertanya-tanya ketika mendiskusikan terjemahan surat Ali Imran ayat 55, tentang masalah Nabi Isa as, pada terjemahan al-Qur’an yang baru. Dia merasa ada yang kurang sreg. Kemudian dia membandingkan terjemahan itu dengan terjemahan al-Qur’an yang lama. “Terjemahan yang lama lebih mudah dipahami,” katanya.

Adapun ayat yang dipertanyakan Kodiran dalam terjemahan versi baru adalah, “Wahai Isa aku mengambilmu dan mengangkatmu kepada-Ku, serta menyucikanmu dari orang-orang yang kafir.” Sedangkan dalam terjemahan lama, bukan sekadar mengambil atau mengangkat Nabi Isa menghadap Allah, tapi juga menyampaikan akhir ajalnya.

Ternyata bukan hanya Kodiran yang mempertanyakan masalah tersebut, Fauziah, mahasiswi FISIP Universitas Indonesia (UI), juga turut mempersoalkan ayat itu. Dia khawatir jangan-jangan terjemahannya diselewengkan.

Setelah ditelusuri, ternyata ada beberapa terjemahan baru menggantikan yang lama. Jika pembaca memerhatikan terjemahan al-Baqarah ayat 143, maka akan menemukan istilah ummatan wasathan. Dalam terjemahan lama diartikan ‘umat yang adil dan pilihan’.

Sedangkan dalam terjemahan baru artinya ‘umat pertengahan’. Di beberapa bagian terjemahan baru ada catatan untuk terjemahan ini, maksudnya umat yang seimbang antara kehidupan dunia dan akhirat.

Dalam surat al-An’am ayat 137 juga ada perubahan. Kata-kata katsir berarti ‘setan’ menurut terjemahan baru. Berbeda dengan terjemahan lama yang mengartikannya ‘pemimpin’.

Lantas mana yang salah dan mana yang benar? Bagian Kajian al-Qur’an, Mukhlis Hanafi dan Muhammad Shohib Thahar, Ketua Tim Pentashih al-Qur’an mengatakan tidak ada terjemahan al-Qur’an yang paling benar. Keduanya sepakat, jika ingin tahu maksud sebenarnya, kita harus memahami bahasa Arab.

“Jika pembaca ingin mendapatkan penjelasan lebih panjang lagi, maka sudah ada di tafsir-tafsir al-Qur’an,” kata Mukhlis.

Memang Mukhlis mendapatkan sejumlah perbedaan dalam terjemahan baru setelah ia mempelajarinya dengan seksama dan merujuk ke tafsir-tafsir al-Qur’an. Terkait dengan surat Ali Imran: 55, menurut Mukhlis, bukan hanya terjemahannya saja yang beragam, ulama pun memahaminya berbeda-beda.

“Sebagian besar ulama mengartikan Allah SWT mewafatkan Nabi Isa terlebih dulu. Tapi Ibnu Asyur -ulama besar Tunisia- berpendapat, Isa diangkat dulu ke langit. Masalah kematiannya tidak diketahui kapan,” kata Mukhlis.

Mukhlis menjelaskan huruf wauw yang menghubungkan kata-kata mutawaffika dan rafi’uka adalah huruf ‘athaf (huruf sambung -red).

“Huruf ini tidak berfungsi memposisikan struktur mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan,” ujarnya. “Inilah penyebab perbedaan pendapat ulama tentang ayat ini.”

Adapun terjemahan surat al-An’am: 137, menurut Mukhlis, memang terdapat banyak terjemahan. Kata katsir bisa diterjemahkan ‘setan’, bisa juga ‘pemimpin’. “Keduanya sama-sama menjadi indikator budaya membunuh anak di zaman jahiliyah dulu,” jelasnya.

Perbedaan lainnya, dari segi penulisan, terjemahan baru tidak lagi memakai sub tema, catatan kaki dipersingkat, dan lebih padat. Jadi lebih praktis. Kepraktisan ini dirasakan oleh Mulya, Koordinator Strategis Dakwah Lembaga Dakwah Kampus UI.

“Setelah empat tahun membaca terjemahan al-Qur’an, saya merasa terjemahan baru lebih mudah dan enak dibaca,” tuturnya.

Muhammad Shohib Thahar mengatakan, terjemahan al-Qur’an sudah berulang-kali mengalami perbaikan. “Hal ini dilakukan untuk memelihara kesahihan al-Qur’an,” katanya. Proses terjemah al-Qur’an melalui sebuah forum atau musyawarah kerja bersama para ahli al-Qur’an di Indonesia.

Penerjemahan al-Qur’an pertama kali dilakukan tahun 1965. Pada waktu itu, dicetak 3 jilid, masing-masing terjemahan menampung 10 juz. Baru pada tahun 1971, terjemahan itu disatukan.

Setelah terjemahan al-Qur’an tersebar dari waktu ke waktu, Departemen Agama memandang perlu perbaikan dan penyempurnaan terjemahan. Tahun 1989 menjadi awal proses perbaikan terjemahan al-Qur’an.

Tapi ini hanya penyempurnaan redaksional saja. Hasil perbaikan tersebut telah dicetak berulang kali. Pemerintah Saudi Arabia pun turut serta tahun 1990 lalu.

Dengan terjemahan itu, masyarakat semakin mudah memahami wahyu Allah SWT. Berbagai kritik dan saran pun berdatangan. Hingga Tim Pentashih melakukan perbaikan kesekian kalinya pada 1998. Cukup lama memang, proses perbaikan kali ini baru selesai pada tahun 2002-2003.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan proses ini berlangsung lama. Diantaranya terdapat perbedaan pendapat di kalangan tim ahli untuk menetapkan pendapat ulama tafsir yang paling baik, juga pencarian padanan kosa kata yang pas dari bahasa Arab ke Indonesia.

Penyempurnaan terjemahan yang terakhir ini meliputi aspek bahasa, disesuaikan dan diperbarui dengan bahasa kekinian. Aspek substansi yang berkenaan dengan kandungan ayat juga dipertajam. Terjemahan terbaru ini juga disesuaikan dengan pedoman transliterasi Arab-Latin berdasarkan surat keputusan bersama tahun 1987.

Bagi yang gemar membaca terjemahan al-Qur’an baik yang baru atau yang lama, akan menemukan perbedaan. Terjemahan yang baru tidak diawali dengan penjelasan mengenai Ulumul Quran, karena dirasa cukup panjang.

Usaha yang dilakukan Departemen Agama ini adalah cara menjaga kitab Allah. Dan al-Qur’an pasti akan selalu terjaga, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya kami turunkan al-Qur’an dan kami menjaganya,” (QS al-Hijr: 9).

Bukan hanya manusia yang menjaga, Allah pun ikut melestarikan firman-Nya. Karena itu, jangan coba-coba menyelewengkan al-Qur’an! (sabili)

Tinggalkan komentar